Pemerintah Desa Penyarang Kecamatan Jelai Hulu upacara pengibaran bendera merah putih di puncak Bukit Batu Giling dalam rangka memperingati hari jadi ke 605 Ketapang, Sabtu (11/3/2023). (Ist). |
Dari kaki bukit, hanya dibutuhkan sekitar 20 sampai 30 menit pendakian, seluruh peserta dapat mencapai puncak. Sementara kalau dari desa, dibutuhkan waktu sekitar satu jam.
Selama tiga hari dua malam, mereka menggelar sejumlah acara di puncak bukit tersebut, mulai dari ritual adat, apel bendera memperingati hari jadi ke 605 Ketapang, hingga Ibadah Misa Hari Minggu Prapaskah III.
"Kegiatan ini kami gelar selama tiga hari, mulai 10 sampai 12 Maret," papar Kades Penyarang Robertus Surya kepada Suara Ketapang, Rabu (15/3/2023).
Robertus Surya berujar, 84 orang warga yang ikut pada kegiatan tersebut berasal dari BPD, LPM, Karang Taruna, LIMNAS, Perangkat Adat, OMK, Pemuda dan masyakat umum desa setempat.
Menurutnya, mereka memilih Bukit Batu Giling sebagai salah satu cara memperkenalkan objek wisata di Desa Penyarang. Bukit ini juga memiliki ribuan pohon durian yang sudah berumur ratusan tahun.
"Setiap musim buah banyak orang yang datang dan mencari buah dan bermalam di pondok-pondok, orang yang datang ke bukit ini dari berbagai kampung," ujarnya.
Robertus Surya juga menambahkan, selain memupuk rasa kebersamaan dan membangkitkan jiwa gotong royong, berkemah di Bukit Batu Giling juga sebagai sarana dalam upaya mengenalkan ke khalayak ramai tentang cerita rakyat di lokasi tersebut.
Robertus Surya bercerita, Bukit Batu Giling memiliki cerita rakyat. Dimana peristiwa zaman dahulu hidup sekelompok manusia dalam sebuah rumah betang.
"Cerita rakyat itu dimulai dari ulah penghuni Rumah Betang terhadap salah satu anak dari tokoh cerita, bernama Bujang Gonggar. Ketika mengadakan pesta, semua orang disuguhi daging untuk dimakan, sementara anak dari Bujang Gonggar diberi karet. Karena kepolosan anak-anak, karet itu pun terus dikunyah namun tidak bisa memecah makanan tersebut," ceritanya.
Mengetahui hal tersebut, Bujang Gonggar pun marah. Ia pun berniat menghukum orang tersebut. Bujang Gonggar kemudian menangkap kelasi atau lutung merah lalu menghiasinya dengan diberikan pakaian.
"Melihat kelasi berpakaian bak manusia, orang-orang yang ada di pesta tersebut menertawakannya dengan terbahak-bahak. Pada zaman dulu hal ini sangat tabu, lalu terjadilah sambaran petir yang menggelegar yang pada akhirnya semua yang ada di sana berumah menjadi batu," tutur Robertus Surya.
Robertus Surya mengatakan, hingga kini, batu-batu dari cerita rakyat itupun masih ada dan terjaga dengan baik. Sebab lokasi bukit tersebut masih sangat alami tanpa tersentuh pembangunan.
"Sekarang tempat dan batu itu disebut batu botangan, dekat dengan Bukit Batu Giling. Di dekat batu botangan ada batu pagar, kejadian pagar menjadi batu, yang memagari rumah Bujang Gonggar," papar Robertus Surya.
"Ada juga batu dinding, ada juga batu jurung, ada batu kawah tempat memasak. Semua tempat dalam cerita itu masih ada," sambungnya.
Mewakili masyarakat desa, Robertus Surya berharap, lokasi ini dapat dilirik pemerintah Kabupaten Ketapang. Ia berharap Pemerintah Kabupaten Ketapang dapat membangun jalan sebagai akses menuju lokasi tersebut.