Dari situ, kami masih melaju dengan kendaraan yang sama, meniti jalur sempit, membelah hutan. Setelah hampir 1 jam perjalanan, motor kami terhenti. Ada kayu yang cukup besar memblokade jalur kami.
Kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan langkahan kaki. Beban yang cukup berat di pundak cukup membuat tenaga terkuras.
Kami melintas hutan tanpa satu orang pun pemandu jalan. Tak ada satu orang pun dari kami, yang pernah ke hutan ini.
"Ikuti saja jalurnya, kalau ada simpang pertama, kita ambil kiri" begitu pesan Erwin, salah seorang dari kami. Itu pun ia tahu setelah melihat Google Map sebelum sinyal lenyap.
Kami hanya mengandalkan jalur samar. Bekas jalan pendaki sebelumnya yang sudah tertutup daun kering. Setiap ada persimpangan, kami hanya mengandalkan feeling. Patok yang bertuliskan HM / RB yang diikuti angka, menjadi panduan kami agar tak keluar dari jalur.
Setelah 2 jam berjalan kaki, sungai yang cukup lebar menyabut kami. Saking jernih airnya, dasar sungai terllihat jelas. Kami pun tak ragu meneguknya. Di tepi sungai ini kami istirahat cukup panjang sambil menyantap bekal makan siang.
Setelah menemukan sungai, kami tak ragu lagi, kalau-kalau kami sampai tersesat. Ikuti saja aliran sungainya, sambil menebak jalur yang mulai pudar tertutup daun gugur.
Udara sejuk, nyanyian penghuni rimba, bercampur ocehan teman-teman pendaki, menjadi doping semangat. Entah berapa kali kami berhenti, untuk sekedar menyambung napas. Kemudian lanjut lagi, sembari membayangkan air terjun, yang katanya cukup indah.
Hutan yang kami jajaki ini merupakan kawasan konservasi Gunung Palung. Salah satu Taman Nasional di Kalimantan Barat. Berada di perbatasan Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang.
Perjalanan kami di tengah hutan, memakan waktu hampir 6 jam. Jelang gelap, kami memutuskan bermalam di kawasan Riam Bekinjil. Lokasinya cocok menggelar tenda.
"Kalau besok masih kuat, kita lanjut ke Riam Berasap," begitu kesepakatan kami berlima sebelum terlelap.
Adzan subuh dikumandangkan Pak Jamali, kawan baru tim kami dari Sukadana. Suara indahnya membangunkan kami dari istirahat malam.
"Kaki ku dah keruk, rasenye tak mampu lagi naik ke atas," celetuk Fauzi.
"Aok, belom lagi kite jalan balik ni, udah am, kite sarapan dulu, jam 9 pagi kite langsung turun," jawab Wak Doli, senior kami. Katanya usianya udah 55 tahun. Tapi semangatnya macam anak tujuh belasan.
Kami pun tak tahu pasti. Jarak dan waktu perjalanan yang harus ditempuh, kalau harus melanjutkan perjalanan ke Riam Berasap.
Erwin, Wak Doly, Fauzi, memilih turun. Saya bersama Pak Jamali sebetulnya pengen melanjutkan perjalanan. Namun kami sepakat turun.
Anehnya, perjalanan pulang dari camp ke sungai dimana tempat kami makan siang kemarin, hanya butuh waktu 35 menit. Padahal saat perjalanan pergi, kami berjalan hingga 3 jam. Kami yakin sekali tidak tersesat. Persis jalan yang sama yang kami lalui.
Kami pun terheran-heran. Kenapa bisa jauh sekali perbedaan waktunya. Padahal kontur jalan, pulang dan pergi tidak begitu menanjak, datar saja. Lain waktu, kami sepakat, bakal kembali menuju ke sana. Wajib sampai puncak. Air Terjun Riam Berasap.