![]() |
| Orangutan dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Melawi, Kalbar, Selasa (16/12/2025). (ist) |
Pelepasliaran dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat bersama Balai TNBBBR dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI).
Untuk mencapai titik pelepasliaran di dalam kawasan TNBBBR, tim harus menempuh perjalanan darat, sungai, dan trekking hutan dengan total waktu tempuh selama tuga hari dari Pusat Rehabilitasi YIARI.
Kawasan Resort Mentatai dipilih karena memiliki tutupan hutan yang baik, sumber pakan alami melimpah, serta tekanan aktivitas manusia yang relatif rendah.
“Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya merupakan habitat yang sesuai berdasarkan kajian kesesuaian, daya dukung kawasan, dan kesiapan satwa. Pasca pelepasliaran, kami akan melakukan pemantauan berkala untuk memastikan orangutan dapat beradaptasi dengan baik,” ujar Kepala Balai TNBBBR, Persada Agussetia Sitepu melalui keterangan tertulis, pada Rabu (18/12/2025).
Ketiga orangutan tersebut merupakan individu hasil sitaan dan penyelamatan yang kemudian dititiprawatkan BKSDA Kalbar di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Orangutan YIARI, Desa Sungai Awan Kiri, Ketapang.
Badul, orangutan jantan, mulai menjalani rehabilitasi sejak November 2017 setelah sebelumnya hidup di lingkungan buatan. Selama sekitar delapan tahun, ia dibimbing hingga mampu mencari pakan alami, menjelajah jauh, dan membangun sarang sendiri.
Korwas, orangutan betina, masuk rehabilitasi pada Agustus 2017 setelah disita dari perdagangan ilegal satwa liar. Ia sempat mengalami infeksi jamur kulit sebelum akhirnya pulih dan menunjukkan perilaku liar yang stabil setelah hampir delapan tahun masa perawatan.
Sementara Asoka, orangutan jantan, merupakan kasus penyelamatan paling lama. Ia datang ke YIARI pada Juli 2015 dalam kondisi bayi berusia sekitar lima bulan setelah dipelihara warga dan diberi pakan tidak sesuai. Setelah hampir sepuluh tahun rehabilitasi, Asoka kini dinilai mandiri dan siap hidup di alam liar.
Manager Animal Management YIARI, drh Andini Nurillah, mengatakan aspek kesehatan menjadi fondasi utama sebelum pelepasliaran dilakukan.
“Setiap orangutan telah melewati pemeriksaan kesehatan yang ketat dan rutin. Badul, Korwas, dan Asoka menunjukkan kondisi fisik yang baik, kesehatan stabil, serta perilaku yang mendukung keberhasilan hidup di alam liar,” kata Andini.
Sebelum dilepasliarkan, ketiganya menjalani prosedur medis pra-pelepasliaran, termasuk pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penimbangan bobot badan, dan verifikasi microchip. Tim gabungan YIARI dan TNBBBR juga akan melakukan pemantauan pasca pelepasliaran.
Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul, menyebut keberhasilan ini merupakan hasil kerja panjang berbagai pihak.
“Setiap orangutan yang kembali ke hutan adalah buah dari proses penyelamatan, rehabilitasi, dan perawatan bertahun-tahun. Ini bukan hanya kabar baik bagi YIARI, tetapi juga bagi masa depan keanekaragaman hayati Indonesia,” ujarnya.
Direktur Program Operasional YIARI, Argitoe Ranting, menambahkan bahwa pelepasliaran ini juga menjadi momentum penting dalam keterbukaan komunikasi konservasi.
“Kami menyambut baik ruang publikasi yang kini tersedia. Transparansi dan komunikasi terbuka adalah fondasi agar upaya konservasi berjalan efektif dan konflik satwa-manusia dapat ditekan,” katanya.
Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Murlan Dameria Pane, menegaskan bahwa pelepasliaran bukan sekadar memindahkan satwa dari kandang ke hutan.
“Ini adalah bentuk komitmen semua pihak terhadap konservasi orangutan. Pelepasliaran memberi kesempatan Badul, Korwas, dan Asoka hidup dan beraktivitas di alam bebas. Harapannya, mereka dapat berkembang biak dan menambah populasi orangutan Kalimantan,” ujarnya.
Sebagai satwa kunci ekosistem, orangutan berperan penting sebagai penyebar biji dan penjaga regenerasi hutan. Kembalinya Badul, Korwas, dan Asoka ke TNBBBR diharapkan memperkuat keseimbangan ekosistem hutan Kalimantan dalam jangka panjang. (Ndi)
