Perubahan Iklim Memburuk, Dua Orangutan Terusir dari Hutan

Editor: Agustiandi author photo
Satu diantara orangutan yang berhasil diselamatkan IAR Indonesia. 
Ketapang (Suara Ketapang) - Perubahan iklim yang dialami hampir seluruh permukaan bumi, telah menjadikan kondisi cuaca tak lagi bisa diprediksi. Bahkan menjadi salah satu faktor utama dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun ini.

Berdasarkan laporan Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah yang terburuk sejak 2015, menghasilkan tidak kurang dari 708 juta ton karbon dioksida ekuivalen di atmosfer. Sebagian besar merupakan hasil dari kebakaran gambut. Angka ini hampir dua kali lipat emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran hutan Amazon.

Namun, karhutla di Indonesia tidak hanya berpengaruh pada perubahan iklim. Keanekaragaman Hayati hutan rawa gambut Kalimantan juga turut terancam. Inilah nasib buruk yang harus dihadapi oleh orangutan, primata ikonik Kalimantan, satu-satunya kera besar yang ada di Asia.

Kebakaran hutan besar-besaran yang menghancurkan hutan di Indonesia pada 2015 mengakibatkan banyak orangutan mati, dan sebagian besar lainnya kehilangan habitatnya, mendorong spesies ini ke jurang kepunahan dan memperburuk konflik dengan manusia.

Orangutan yang terdesak keluar dari habitatnya yang hancur memasuki kebun-kebun warga di mana biasanya mereka akan terluka atau bahkan mati karena diserang manusia.

Kebakaran tahun ini juga menghancurkan populasi orangutan di Kalimantan. Sejak kebakaran yang diawali pada Juli 2019, IAR Indonesia telah menyelamatkan sembilan orangutan dari kawasan hutan yang terbakar.

“Pada 2015 kami menyelamatkan 44 orangutan dari habitatnya yang hancur dalam beberapa bulan bahkan setelah kebakarannya mereda,” ujar Argitoe Ranting, Manager Lapangan IAR Indonesia.

“Semakin lama waktu yang kita ambil untuk menyelamatkan orangutan yang kehilangan habitatnya, kondisi mereka akan semakin kritis,” tambahnya lagi.

Dalam sepekan terakhir ini, IAR Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang menyelamatkan dua individu orangutan di Ketapang. 

Satu individu orangutan bernama Jebur diselamatkan dari kebun karet milik warga di Desa Sungai Awan Kiri, dan Epen, orangutan betina dewasa yang diselamatkan dari Desa Sungai Besar dua hari setelahnya.

“Orangutan betina ini sangat kurus,” jelas Argito.

“Sepertinya orangutan ini telah menderita kelaparan selama berbulan-bulan sejak habitatnya terbakar. Kami juga menduga dia kehilangan bayinya karena orangutan ini masih mengeluarkan air susu. Mungkin bayinya mati karena kekurangan nutrisi. Jilka kami tidak segera menyelamatkannya, mungkin dia sudah mati sekarang,” katanya lagi.

Jebur yang diperkirakan berusia 8 tahun, langsung dilepaskan di Hutan Sentap kancang tidak jauh dari tempat dia diselamatkan, sementara Epen saat ini masih menjalani pemeriksaan dan perawatan oleh tim medis IAR Indonesia yang bekerja keras untuk memastikan dia kembali pulih dan bisa dipulangkan ke habitat aslinya sesegera mungkin.

“Kehilangan habitat orangutan karena kebakaran adalah ancaman terbesar bagi orangutan saat ini,” ujar Karmele L. Sanchez, Direktur Program IAR Indonesia.

“Sungguh memilukan melihat orangutan korban kebakaran hutan ini yang menderita kelaparan, tidak mempunyai apa pun untuk dimakan, sama seperti yang kita saksikan pada 2015. Meskipun demikian, kekuatan untuk tetap hidup dalam kondisi seperti ini cukup mencengangkan. Bagian yang paling menyedihkan adalah kita tidak bisa menghitung berapa banyak dari orangutan ini yang tidak berhasil bertahan dan akhirnya terbakar dalam kebakaran atau mati perlahan karena kelaparan.” ujarnya.

Ancaman perubahan iklim telah di ambang pintu. Mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 90 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi atau bencana yang disebabkan oleh faktor cuaca. Tidak bisa dipungkiri, cuaca ekstrem ini merupakan salah satu dampak perubahan iklim.

World Economic Forum pada The Global Risk Report 2019 juga menyatakan, perubahan iklim menempati posisi paling atas sebagai penyebab musibah global, seperti bencana alam, cuaca ekstrem, krisis pangan dan air bersih, hilangnya keanekaragaman hayati, dan runtuhnya ekosistem. Dengan situasi demikian, kita harus bisa siap untuk bencana kebakaran pada tahun ke tahun berikutnya.

Pada minggu ini, dari 2 sampai 13 Desember, isu perubahan iklim menjadi isu penting dan serius yang akan dibahas dalam United Nation Climate Change Conference yang berlangsung di Madrid, Spanyol. Pertemuan yang disebut juga COP25, ini merupakan pertemuan lanjutan para pihak yang hadir pada konvensi PBB tentang perubahan iklim untuk memastikan hasil kesepakatan konvensi tersebut dilaksanakan.

"Kita memerlukan kemauan dan komitmen yang kuat dari semua negara untuk memerangi perubahan iklim. Kebakaran hutan merupakan penghasil rumah kaca terbesar di dunia. Bila kita tidak melindungi hutan yang tersisa, kita tidak hanya akan menderita akibat perubahan iklim, tetapi juga akan menyaksikan keanekaragaman hayati dari Kalimantan, termasuk orangutan, akan musnah.” pungkasnya. (R)

Share:
Komentar

Berita Terkini