Ritual Naik Jurung di Ketapang, dari Lumbung Padi Menuju Lumbung Persaudaraan

Editor: Agustiandi author photo

Bupati Ketapang yang juga bergelar Patih Jaga Pati Laman Sembilan Domong Sepuluh, Alexander Wilyo saat Ritual Adat Naik Jurung Tinggi, Rabu (8/10/2025). (ist) 
Ketapang (Suara Ketapang) – Suasana sakral menyelimuti Komplek Balai Agung Kepatihan Jaga Pati, Kerajaan Hulu Aik, Rabu (8/10/2025). saat digelar Ritual Adat Naik Jurung Tinggi, prosesi warisan leluhur Dayak yang melambangkan kemakmuran, kedaulatan pangan, dan keharmonisan manusia dengan alam.

“Jurung” atau lumbung padi dalam tradisi Dayak bukan sekadar tempat penyimpanan hasil panen. Ia menjadi simbol kesejahteraan, persaudaraan, dan kelestarian hidup bersama.

Prosesi dimulai dengan perarakan benih padi oleh para domong, diiringi lantunan senggayong bambu yang menggema lembut, mengiring langkah para tetua adat. Suasana semakin khidmat dengan penyambutan tamu melalui ragam adat dari berbagai sub-suku Dayak: kutomaro dari Dayak Pesaguan Sekayuk, ngalu dari Dayak Simpang, serta tarian beganjaq—tarian doa dan pengharapan dari Manismata dan Kendawangan Seakaran.

Puncak acara berlangsung di ponti’ kepatihan, tempat doa adat dipanjatkan. Domong Kerajaan Hulu Aik, Sudirnus, memimpin doa kepada Duata, Tuhan Alam Perimbangan Tanah Arai. Bersama Raja Hulu Aik, para domong, dan tamu kehormatan, Bupati Ketapang Alexander Wilyo turut menundukkan kepala dalam prosesi doa, memohon restu dan keberkahan.

Para domong dari Jelai Hulu kemudian menuntun jalannya ritual Naik Jurung Tinggi. Ancak digantungkan di bumbung, benih padi dimasukkan ke dalam jurung, sebagai lambang syukur dan harapan akan panen yang berlimpah.

Dalam sambutannya, Alexander Wilyo yang juga memegang amanah adat sebagai Patih Jaga Pati Laman Sembilan Domong Sepuluh, menyampaikan bahwa ritual ini bukan hanya tradisi, melainkan wujud kearifan lokal yang mengajarkan gotong royong, persaudaraan, dan penghormatan terhadap alam.

“Amanah adat bukan soal kekuasaan, melainkan tanggung jawab menjaga budaya dan jati diri Dayak. Sebab jika adat hilang, maka hilang pula martabat masyarakat,” ujarnya.

Ia menegaskan, sebagai pemimpin daerah, dirinya berkomitmen mengayomi seluruh suku, agama, dan etnis di Ketapang.

“Ketapang adalah rumah besar kita bersama—Dayak, Melayu, Jawa, Madura, Bugis, Tionghoa, dan lainnya—semua memiliki ruang yang sama untuk tumbuh dalam semangat kebhinekaan,” kata Alexander.

Ritual adat Naik Jurung Tinggi dihadiri Wakil Gubernur Kalimantan Barat Krisantus Kurniawan, Anggota DPR RI, Cornelis, Bupati Sukamara, Wakil Bupati Sanggau, serta perwakilan pemerintah daerah dari Bengkayang dan Singkawang. Kehadiran mereka menjadi simbol persaudaraan lintas daerah dan budaya.

Rangkaian acara berlanjut dengan makan beradat, musyawarah adat, pemberian gelar kehormatan adat, termasuk kepada Kepala BIN Daerah Kalbar, serta penampilan tarian Begal yang menggugah kebanggaan akan warisan budaya Dayak.

Sebagai penutup, prosesi kisar pesalin (pemberian gelar adat) dan benari-begal menutup acara dalam lingkaran doa dan tarian adat, mempererat ikatan persaudaraan antarumat dan antarbudaya.

 “Naik Jurung Tinggi mengingatkan kita bahwa menjaga padi berarti menjaga kehidupan, menjaga adat berarti menjaga martabat, dan menjaga persatuan berarti menjaga masa depan,” tutup Alexander Wilyo. (Ad) 

Share:
Komentar

Berita Terkini