Alexander Wilyo Jadi Pembicara Seminar Nasional Pekan Gawai Dayak di Pontianak

Editor: Agustiandi author photo

Sekda Ketapang Alexander Wilyo saat menjadi pembicara seminar nasional tentang “Tanah Dan Hutan Adat Dayak, Kini Dan Masa Depan” di Rumah Radang, Pontianak, Kamis (18/5/2023). (Ist).
Pontianak (Suara Ketapang) - Sekretaris Daerah (Sekda) Ketapang, yang juga Patih Jaga Pati Desa Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik bergelar Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua Alexander Wilyo, menjadi pembicara Seminar Nasional tentang “Tanah Dan Hutan Adat Dayak, Kini Dan Masa Depan”.

Seminar nasional ini berlangsung dalam rangka Pekan Gawai Dayak XXXVII Provinsi Kalimantan Barat di Rumah Radang, Pontianak, Kamis, 18 Mei 2023.

Selain Patih, hadir sebagai pembicara lainnya Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antony, Ph. D dan Wakil Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Aloe Dohong, Ph. D.

Mengawali paparannya, Sekda Ketapang terlebih dahulu mendefinisikan, bahwa tanah adalah permukaan bumi yang ditempati suatu kaum atau bangsa yang diberi batas. Sedangkan adat adalah aturan atau perbuatan dan sebagainya, yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. 

Sedangkan tanah adat sendiri adalah tanah milik yang diatur menurut hukum adat setempat.

Tanah, ujar Sekda, adalah given dari Sang Pencipta. Namun, ketika ada penghuni atau pemilik, maka tanah itu menjadi milik orang per orang atau klan atau komunitas adat yang tinggal di situ. Lebih lanjut dikatakannya, di kalangan masyarakat adat Dayak, terbentuknya tanah adat itu menarik untuk ditlusuri, bagaimana tanah adat ini terbentuk. 

“Sebelumnya, mari melihat surut ke belakang. Dayak disebut Indigenous People o f Bo rneo – ini suatu aksioma. Artinya, kebenaran yang diterima umum, yang tidak perlu lagi pembuktian,” katanya.

Sekda pun mengutip tulisan Charles Tyler Tahun 1993. Dari penelitian ilmiah atau uji karbon oleh Muzium Sarawak, bekerja sama dengan Inggris, diketahui penghuni Borneo (sebutan Kalimantan di masa kolonial dan penulis barat dahulu) telah ada 40.000 tahun silam di Gua Niah, wilayah Miri, Sarawak. 

“Artinya, Dayak adalah idigeneous people of Borneo,” ujarnya.

Dengan demikian, kata Sekda, masyarakat adat Dayak lah yang memiliki tanah adat Borneo atau Kalimantan atau varuna-dwipa-menurut referensi pada zaman pengaruh Hindu-India. Tanah adat itu, menurut Sekda, ada tiga jenis. Yakni (1) tonah colap torun pusaka atau hutan adat, (2) tembawang buah janah atau kebun buah-buahan, (3) rima magong bawas belukar atau lokasi berladang.

Secara rinci dijelaskannya, tonah colap torunt pusaka atau hutan adat adalah gunung atau bukit yang berisi rima magong atau hutan yg masih utuh dan keramat padagi yang disepakati dan ditetapkan oleh masyarakat adat Dayak dan dimiliki secara komunal satu binua atau wilayah adat.

Hutan adat memiliki fungsi untuk melindungi kayu kayatn (kayu), sumber mata air, tempat keramat padagi, lokasi sampuatn palalau (kayu madu), lokasi kayu damar gotah nyatoh.

Tembawang buah janah adalah kebun buah janah atau buah-buahan yang kepemilikannya secara pribadi, keluarga atau komunal). 

Fungsi tembawang buah hanah, antara lain untuk kebun buah-buahan, kebun tengkawang, kebun aren, tempat keramat padagi, lokasi sampuant palalau (kayu madu), lokasi kayu damar gotah nyatoh.

Rima magong bawas belukar adalah area yang dikhususkan untuk berladang dan berkebun. Sistem kepemilikan rima magong bawas belukar secara pribadi, keluarga atau komunal. Rima magong bawas belukar berfungsi untuk area beuma betautn atau beladang, area berkebun atau karet, kelapa, sayur-sayuran, area untuk berburu atau mencari lauk pauk, area untuk ngael ngacer, nubak naong atau mencair ikan.

Sedangkan kompong loboh laman benua adalah area yang dikhususkan untuk pemukiman atau dalam komunitas masyarkat adat Dayak yang disebut laman. Meski ditinggalkan dan tidak ada penghuninya, bekas huma, pelaman, kampung dan tembawang tetap ada yang punya, tidak ada surat keterangan tanah (SKT) saat itu, apalagi sertifikat tanah, tanaman, buah, karet, kelapa, atau apapun yang ditanam di wilayah yang pernah dijamah manusia itu; itulah SKT dan sertifikat tanah.

Selanjutnya, Sekda mengatakan, di kalangan penghuni asli Borneo, kode-kode atau simbol kepemilikan tanah itu diketahui dengan pasti. Tidak demikian halnya dengan pendatang, mereka mengira, asalkan ada lahan atau tanah kosong; maka tidak ada yang punya. 

Seiring waktu, dengan mulai datangnya orang asing ke Kalimantan, konflik lahan atau tanah mulai terjadi. Orang Dayak yang secara adat dan tradisi tidak membuat SKT dan sertikat tanah, kalah secara hukum negara. Lalu era 1970-an, mulai masuk HPH atau program ttransmigras atau tanah Kalimantan mulai menjadi rebutan, kemudian perusahaan tambang. Era 1980-an, masuk perkebunan sawit dan HTI.

Kepemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal. Tanah komunal ini memiliki kesatuan wilayah berbatasan dengan kampung tetangga. Seiring perkembangan zaman, maka sistem pemilikan individual mulai dikenal di dalam sistem pemilikan komunal.

Pengaturan atas kepemilikan lahan/tanah di Nusantara baru dikenal pada abad 18, yakni Undang-Undang Agraria 1870 sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda di tanah Jawa. Di Borneo pada saat itu, yang mengatur kepemilikan dan batas tanah adalah masyarakat asli penghuni wilayah itu sendiri. Merekalah penguasa tanah negerinya.

Akibatnya, ujar Sekda, konflik lahan di Kalimantan antara pemangku atau pewaris sah tanah adat dengan pendatang atau pengusaha semakin mengemuka. Dalam konflik lahan itu, masyarakat adat berada di pihak yang lemah. Dari itulah, Sekda menawarkan beberapa solusinya. 

"Konflik sudah terjadi. Kita tidak lagi bertanya, siapa yang salah? Kita bersama-sama harus mencari solusinya. Duduk dan berdiskusi menyatukan persepsi, seperti seminar ini, menjadi penting, agar kita memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap tanah-adat; warisan leluhur kita. Mari mencontoh yang baik dari Bali. Tanah tidak dijual, melainkan disewakan kepada orang asing, yang bukan Bali,” ujar Sekda.

Selain itu, kata Sekda, ada lima unsur masyarakat gukum adat, yang kita komunitas Dayak memilikinya dan telah menyatu dalam segala aspek kehidupan: adat, budaya (bahasa dan seni), agama, norma, hukum adat dan tingkah laku. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menyatakan, minimal 5 unsur masyarakat hukum adat diantaranya pertama, ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling), kedua, ada pranata pemerintahan adat, ketiga ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, keempat, ada perangkat norma hukum adat dan kelima, khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu.

“Kita semua (DAYAK) memiliki kelima unsur masyarakat hukum adat itu. Langkah pelestarian tanah adat: menjaga tonah colap torutn pusaka atau hutan adat, yang masih tersisa, merevitalisasi dan menaman kembali tembawang buah janah, menjaga dan mengangkat tradisi, budaya Dayak: ritual adat mendirikan keramat padagi, ritual adat pesta panen Nyapat Tahun atau Naik Dango, ritual adat Senganyong Menjangkap Buah dan lain-lainnya,” imbau Sekda. 

Mengakhiri paparannya, sebagai Patih Jaga Pati, Sekda pun menyerukan.

“Kita, Dayak diakui pemangku dan pewaris sah tanah Borneo. Tanah adat dikuasai dan dipertahankan leluhur sejak beribu tahun lamanya. Kita wajib menjaga, memelihara, serta melestarikannya. Sebagaimana nenek moyang, kita pun wajib mewariskan tanah-adat ini ke generasi yang berikut, dan seterusnya. Dayak manusia yang menyatu dengan alam dan lingkungannya. Alam dan lingkungan musnah, musnahlah orang Dayak dan peradabannya. Jangan jual lahan ke orang luar.

Pertahankan sumber air. Tidak ada emas kebun kehidupan, yang ada: air kehidupan,” tutupnya.

Seminar Nasional Pekan Gawai Dayak XXXVII ini dihadiri oleh lebih dari 200 orang, dari unsur multietnik, Kanwil ATR/BPN Provinsi Kalbar, Balai KSDA Kementerian LH, elemen masyarakat, DAD, Ormas Dayak, OKP, peserta bujang dara, mahasiswa, tokoh adat dan LSM. 

Share:
Komentar

Berita Terkini